Hujan. Sejatinya tak perlu menaruh pengaguman, memang sudah musimnya jika sekarang ini air akan lebih sering turun membasahi pelataran. Tak ada yang kusuka dari hujan. Lembab, basah, dingin, membuat genangan, terkadang menghanyutkan.
Tanah itu masih basah oleh guyuran cinta Tuhan. Awan kelabu masih selimuti kota yang membuat pagi itu terasa sendu. Aku sejenak termenung di balik bilik sembari menatap butiran-butiran rahmat Tuhan yang jatuh ke bumi. Camilan, kopi, dan lagu-lagu indie, menjadi sahabat hari ini dalam mengenang problematika yang disuguhkan kehidupan. Sesekali nampak bayangan akan kedamainan rumah yang sedari lahir aku dibesarkan di sana. Ya, jarak yang membentang telah berhasil menimpakan rindu akan suasana rumah yang sudah cukup lama aku tinggal. Mungkin sebanyak butiran hujan itulah rinduku. Tapi aku sadar, celah di antara hujan sebenarnya lebih luas dari pada hujan itu sendiri.
Di desa pinggiran itu, saat ayam jago belum sempat melantunkan suara kokoknya ternyata suara tangis bayi lebih dulu memecah hening di fajar itu. Ya, aku lahir. Begitulah kiranya kata emakku. Masa kecilku sama dengan anak lain, tidak ada yang spesial. Hanya saja ada kenangan yang melintas karena resonansi rintik hujan di pagi itu yang membuat aku rindu. Aku bukan termasuk anak gaul yang bebas bermain kemana pun yang ku mau. Pun aku juga bukan termasuk ‘pasukan pantang pulang sebelum maghrib’ seperti karib sepermainanku yang lain. Masih terukir jelas di hampir semua siang, waktu bermainku selalu dipenggal oleh lengkingnya suara yang memanggil namaku. Ya, itu suara emakku, yang sangat rajin mengaba-aba bahwa waktu bermainku hari itu sudah usai. Tidak pernah aku melawan, hanya mungkin sesekali mengeluh.
Sekarang, itu semua telah menjadi cerita di bait-bait sejarah yang hanya bisa kurindu. Biarlah, karena memang alur Tuhan yang menaskan bahwa diri ini cukup tangguh untuk hidup sendiri. Bahwa Tuhan telah menyokongkan bahu yang kuat memikul problematika kehidupan dan hati yang pawai mengelola rindu yang berapi-api. Berjuang sendiri memang terlalu hambar rasanya. Yang kubutuhkan saat ini mungkin hanyalah masa, berjalan sendiri menghadapi semua rindu hingga tak lagi menyesak di dada. Hidup dengan sebaik-baiknya, sampai tak lagi meratap hanya karena hujan saja. Mencoba mengenali Dia yang denganNya aku bisa membisikkan rinduku kepada orang-orang di rumah sana. Dan inilah satu-satunya yang ku suka dari hujan. Ia lebih cepat mengalirkan doa kepada sisi Tuhannya.
Oleh :
Ahmad Saifuddin