Belakangan ini publik diriuhkan degan pembahasan soal “kids zaman now”. Istilah “kids zaman now” muncul lantaran maraknya fenomena anak muda zaman sekarang yang perilakunya lebih sering membuat kita mengerutkan dahi dan geleng-geleng kepala. Kids zaman now sendiri merupakan sebutan bagi generasi Z, yaitu mereka yang lahir pada rentang tahun 1995 sampai 2010. Mereka lebih akrab dengan teknologi seperti gadget dan internet sehingga membuat mereka merasa dibesarkan dengannya.
Dengan melihat dari segi tersebut, jelas bahwa kebanyakan mereka adalah pelajar mulai dari tingkat SD, SMP, SMA, sampai perguruan tinggi. Lalu pertanyaannya, dari perspektif seorang pendidik (orang tua dan guru), mau diapakan mereka? Sebelum terjun langsung menangani berbagai problematika kids zaman now seyogyanya pendidik terlebih dahulu harus paham dengan kelebihan dan kekurangan mereka. Dengan bekal pemahaman akan hal ini selanjutnya pendidik dapat merumuskan langkah-langkah jitu untuk mengarahkan mereka menjadi generasi yang benar-benar bisa diandalkan bangsa, negara, dan agama.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa generasi Z adalah generasi yang dibesarkan oleh teknologi. Di antara trademark kids zaman now adalah lebih lihainya mereka berselancar di dunia maya, lebih fasih memainkan gadget, dan lebih ekspres dengan informasi-informasi terkini. Tak lain itu semua karena memang mereka adalah generasi informasi –Bill Gates menyebutnya i-generation – . Di sisi lain, dengan terjangan berita, opini, isu, dan tren yang begitu cepat acap kali membuat mereka gagap.
Kebanyakan mereka bersikap spontanitas dengan apa yang mereka perbuat tergantung tren yang sedang booming sekarang. Kekurangpahaman mereka tentang filtrasi informasi juga bisa menjadi bom waktu bagi mereka sendiri, bahkan orang-orang di sekitarnya. Itulah masalah yang membuat kita mengernyitkan dahi karena fenomena kids zaman now di internet didominasi karena aksi mereka yang kurang sesuai norma.
Setelah mengetahui potensi yang generasi Z miliki, seorang pendidik haruslah mampu mengarahkan dan mengoptimalkan potensi dan kemampuan mereka. Di sisi lain pendidik juga dituntut untuk meredam kekurangan mereka agar tak sampai terluap kepada ekspresi amal sosial. Benarlah apa yang ditintakan oleh R.A. Kartini,
“Sangatlah ingin hatiku, mendapat kesempatan memimpin hati anak-anak, membentuk watak, mencerdaskan otak…”
“Pendidikan ialah mendidik budi dan jiwa, kewajiban seorang pendidik belumlah selesai jika ia hanya baru mencerdaskan pikiran saja; bahwa tahu adat dan bahasa serta cerdas pikiran belumlah lagi jaminan orang hidup susila ada mempunyai budi pekertí”.
Mencerdaskan otak bisa dilakukan oleh siapa saja. Tapi sebagai seorang pendidik tentulah kita diberi pundak yang lebih kuat untuk menjalankan amanah tambahan, yaitu medidik karakter anak. Dengan kerawanan dan kerentanan karakter anak zaman sekarang, sudah tidak bisa ditawar lagi bahwa mendidik watak harus dilakukan terus dan terus.
Bercermin dari permasalahan kids zaman now, pendidikan karakter tidak boleh lagi menjadi sesuatu yang hanya disisip-sisipkan tapi harus menjadi menu utama bagi para anak didik setiap hari, setiap saat.
Kecerdasan hati harus terlebih dahulu terbentuk dengan kuatnya adab dan akhlak. Setelahnya, kecerdasan otak bisa dikembangkan sesuai potensi masing-masing individu tanpa perlu khawatir karena resiko ‘kebablasan berpikir’ sudah tertanggulangi dengan kecerdasan hati (watak) yang sudah kokoh.
Pencerdasan watak bertujuan membentuk kepribadian anak didik sehingga mereka mampu menyaring informasi, memberdayakan segi positifnya dan meninggalkan segi negatifnya, tidak memaksakan logikanya dan lebih mengedepankan kata hati nuraninya.
Lalu bagaimana langkah konkret untuk mencerdaskan watak kids zaman now? Salah satu – atau bahkan satu-satunya – cara konkret tersebut adalah mengembalikan pemikiran kids zaman now kepada pemikiran yang islami.
Pertama dan terutama, kenalkan kids zaman now dengan Tuhannya. Hujamkan nilai-nilai tauhid agar mereka benar-benar paham tentang tujuan hidup, bisa mengembangkan dan mengokohkan pikiran serta hati mereka kepada ma’rifat dan cinta kepada Allah Swt. Hal ini sangat penting agar anak menjadi pribadi yang bisa memamfaatkan instrumen-instrumen yang diberikan Allah dengan baik dan benar.
Dengan bekal ketauhidan ini pula diharapkan anak memiliki akal pikiran cerdas yang mampu memecahkan rahasia ciptaan-Nya. Dengan kata lain, penanaman nilai-nilai tauhid bertujuan untuk mengaktualisasi potensi fitrah manusia, dan salah satu fitrah manusia adalah beragama.
Sejarah telah membuktikan bahwa dari sekian banyak isme (pemikiran) di dunia, pemikiran islami (tauhid) adalah yang paling kokoh kedudukannya. Oleh karena itu, sebagai pendidik sangatlah dibutuhkan kefasihan untuk menginfus nilai-nilai ketahuidan kepada anak agar menjadi benteng besar di kehidupan mereka supaya tidak mudah goyah dengan hantaman isme-isme lain yang lebih sering berdampak buruk bagi kehidupan mereka.
Setelah penanaman nilai-nilai Ketuhanan sudah kokoh tertancap di benak anak didik, barulah akhlak dan adab bisa dengan mudah digelontorkan ke kepribadian mereka. Dengan bekal pemahaman tentang mana yang benar dan mana yang salah, tentulah anak sudah bisa memilah dan memilih dengan valid dari beragam karakter untuk mereka jadikan kebiasaan dan kepribadian mereka sehari-hari.
Di sinilah tugas seorang pendidik untuk lebih memberikan teladan dan bukan hanya sebatas berbicara teori. Pendidik harus melakukan pembiasaan ini setiap hari agar anak didik pun terbiasa dengan adab dan akhlak yang ditanamkan. Dengan kata lain, karakter yang ditanamkan tidak hanya diamalkan ketika di sekolah saja atau di rumah saja, tapi di seluruh segmen kehidupan mereka. Kalau sudah begitu, maka jaminan akan kuatnya karakter positif anak sudah dikantongi. Setelahnya, upaya pencerdasan otak dapat dilakukan sebagaimana pendidikan konvensional pada umumnya, tak lupa diiringi karakter yang selalu dibiasakan.
Dengan kondisi anak didik yang cerdas secara otak dan karakter, maka gemilangnya masa depan anak tersebut sudah bisa diproyeksikan dari sekarang. Lebih umumnya, masa depan agama, negara, dan bangsa pun akan cemerlang di pundak meraka. Pendidik juga harus sadar bahwa slogan “Menuju Indonesia Emas 2045” bukanlah sekadar slogan. Itu adalah titik di mana semua berharap Indonesia menjadi bangsa yang berada di titik puncaknya sebagai bangsa yang unggul. Dan yang berperan pada masa itu tak lain adalah apa yang sekarang kita sebut “kids zaman now”. Semua langkah menuju masa emas itu dimulai dari seorang pendidik. Ketika ia mampu membaca potensi kids zaman now, kemudian mampu memadupadankan pendidikan otak dan karakter, maka ia telah berhasil memetakan kids zaman now untuk masa depan yang gemilang.
Untuk bisa menanamkan kecerdasan kepada masing-masing individu, pendidik dituntut untuk mengerti selera kids zaman now terlepas dari adanya generation gap antara pendidik dan yang dididik. Sebagai pendidik yang notabene golongan generasi Y, mengakselerasi pribadi untuk bisa menyeimbangi generasi Z sudah menjadi kewajiban. Karena sudah menjadi pilihan bagi seorang pendidik, menjadikan kids zaman now sebagai investasi emas atau membiarkan meraka berkeliaran dengan dunianya sendiri yang acap kali membuat orang tuanya sendiri pun lelah untuk menasihati.
Oleh : Ahmad Saifuddin