Imajinasi para satrawan membuka pintu-pintu hati para anak bangsa, berani mengurai kata untuk mengetuk nurani anak bangsa. Memulai dari titik kemerdekaan dengan suratan cinta, mengurai negara dengan irama sedu-sedan silat kata di hadapan pemuka para pasukan bersenjata, berimajinasi melampaui batas nalar masanya, tidak kaku dibelenggu, tidak malu mengurai istana-istana negara di dalam syair-syairnya.
Mengupas nalar membuka jalan di tengah kebisingan meriam, membuka hati, membuka mahabbah mujahid-mujahid negara untuk menajamkan tekat menjadi negara merdeka dengan meruncingkan ujung-ujung bambu.
Sejarah tidak boleh kalah, sejarah harus menjadi cerminan keperibadian bangsa, sejarah harus berperan terus dalam semua fase kebangkitan, karena sejarah telah terukir denga darah para mujahid dan mujahidah. Sungguh hati tidak boleh kaku mengurai fakta itu, namun sayang hati tidak mampu mengurai di tengah para pasukan berdasi, lihat satrawan dilahab habis kurikulum 13.
Sungguh kita telah menginjak jejak para satrawan dengan menghilangkan keindahan mahabbah para satrawan dengan menghapus sastra di tengah anak-anak bangsa. Boleh di kata K 13 telah ingkar kepada ibu kandungnya.Menghidupkan sastra adalah sebuah keharusan, negara berhutang kepada para satrawan lama karena dengan narasi mereka telah mengetuk pintu- pintu hati para mujahid negara.
Berikut sedikit mengurai fakta yang diukir dalam memori kita yang mulai memudar di tengah kelas-kelas para guru-guru negara.
Negara lahir dari imajinasi, imajinasi satrawan yg berani menyampaikan mimpi, mimpi di tengah konflik batin karena terkekang dengan semua belenggu para penjajah, disampaikan semua isi hati nuraninya dengan kata bersayap untuk melindungi diri agar tidak digeret ke dalam jeruji besi.
Imajinasi untuk menjadi negara yang terbebas dari belenggu para penjajah di uraikan dalam sebuah puisi yg berjudul “Tanah air”.
Para sastrawan adalah para negarawan yang berani bermimpi, memberi arti di saat semua anak bangsa di bawah kaki para penjajah.
Para satrawan adalah para negarawan yang mencitai negara ini lebih dari biasa. Para satrawan berperan terus dalam fase-fase perjuangan. Teruarai dalam puisi Muhammad Yamin pada tahun 1920 yang berjudul Tanah Airku.
Tanah Air
Pada
batasan, bukit Barisan,
Memandang aku, ke bawah memandang;Tampaklah Hutan, rimba, dan ngarai;
Lagipun sawah, sungai yang permai;
Serta gerangan, lihatlah pula;
Langit yang hijau bertukar warna;
Oleh pucuk, daun kelapa;
Itulah tanah, tanah airku
Sumatera namanya, tumpah darahku.
Sesayup
mata, hutan semata;
Bergunung bukit, lembah sedikit;
Jauh di sana, disebelah situ,
Dipagari gunung, satu persatu
Adalah gerangan sebuah surga,
Bukannya janat bumi kedua
-Firdaus Melayu di atas dunia!
Itulah tanah yang kusayangi,
Sumatera, namanya, yang kujunjungi.
Pada
batasan, bukit barisan,
Memandang ke pantai, teluk permai;
Tampaklah air, air segala,
Itulah laut, samudera Hindia,
Tampaklah ombak, gelombang pelbagai
Memecah kepasir lalu berderai,
Ia memekik berandai-randai :
“Wahai Andalas, Pulau Sumatera,
“Harumkan nama, selatan utara !”
Puisi Muhammad Yamin mencerminkan betapa cintanya kepada Tanah airnya, seolah membakar semangat anak bangsa, menumbuhkan cinta tanah air para anak bangsa. Puisi tersebut mencerminkan keperibadian seorang satrawan, pusinya mencerminkan mimpi-mimpi indah sastrawan untuk semua anak bangsa. Satrawan merdeka dalam dalam jeruji penjajah.
Kemudian lahirlah Puisi Indonesia Tanah Airku, dua hari sebelum sumpah pemuda 1928, sehigga bisakita mengurai kata bahwa sumpah pemuda adalah puisi puisi anak bangsa untuk negeri tercinta.
Bersatu kita teguh
Bercerai kita jatuh
Duduk di pantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai,
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung-gemunung bagus rupanya,
Dilingkari air mulia tampaknya:
Tumpah darahku Indonesia
…………..
Akankah kita harus kembali kemasanya mencintai negara seperti mereka, akankah kita meninggalkan jejak jejak darah mereka, akankah kita harus lari dari mimpi indah mereka, akankah merah putih itu hanya untuk mereka bukan untuk kita, tentu jawabnya tidak.
Mulai berimajinasi ditengah narasi politikus negeri, berimajinasi dengan kejernihan mahabbah, berimajinasi dengan bara merah darah mahabbah untuk masa jaya nagara kita, kita berperan dengan segenap keragaman untuk menjadi satu dalam ikatan, kita beragam bukan mencari perbedaan namun untuk menyatukannya dalam ikatan merah puti, dengan kekurangan mengajrkan tangan tuhan selalu hadir di tengah-tengah kita, dengan kelebihan keindaha rahmat rahimnya menyertai kita.
Tidak ada jalan untuk kita saling menjatuhkan, sungguh kita semua memegang peran mendapat amanah serpihan serpihan kebenaran di atas naungan kesempurnaan qudrah iradah sang pemilik kesempurnaan.
Oleh : Al Anshori, S.Pd.