“Jendela, tempatku menghirup udara, melihat ruang terbuka penuh warna, tempat mimpi kurangkai dalam angan, dan tempat nyaman untuk senantiasa mengenang, ada banyak harapan ketika raga terkungkung tiada makna dan kepala menatap jauh penuhi sudut jendela itu, begitu saya menggambarkannya, Buku Jendela Dunia, Buku Mengubah Dunia”.
Membaca adalah suatu cara untuk mendapatkan informasi dari sesuatu yang ditulis. Sedangkan budaya membaca adalah suatu sikap dan tindakan untuk membaca yang dilakukan secara berkelanjutan dan teratur. Kegiatan membaca dipandang sebagai suatu kegiatan yang strategis dan mendasar dalam perkembangan kepribadian atau psikologi manusia. Hal ini bisa terlihat pada pola pikir seseorang yang terkadang dipengaruhi oleh bahan bacaan terhadap buku-buku yang dibacanya.
Implementasi dari penyerapan proses membaca ini, dapat dilihat hasilnya pada kecerdasan melakukan proses analisis dan pelaksanaanya pada keterampilan yang dimiliki. Maka tidak berlebihan jika kita mengambil sampel negara Jepang sebagai salah satu contoh negara yang masih bisa disaksikan sejarah bangkitnya dari kelumpuhan pengeboman yang meluluhlantahkan kota Nagasaki dan Hiroshima oleh sekutu dalam perang dunia Kedua.
Salah satu faktor bangkitnya kembali negara Jepang dimasanya adalah digalakkannya budaya membaca, kerja keras, dan rasa ingin tahunya dan selalu memperbaiki hasil kerja mereka. Budaya membaca ini dibangun dari penyadaran pentingnya membaca sehingga menggelora di setiap lini kehidupannya. Budaya ini dipertahankan oleh penduduk jepang karena diyakini secara logis akan menjadi obor penerang masa depan.
Kita juga harus membuka mata terhadap sejarah kejayaan Islam di zaman emasnya. Sebut saja Khalifah Harun Al-Rasyid, Al-Makmun, dan khalifah lainnya di zaman keemasan bani Abbasiyah. Betapa banyak intelektual yang lahir pada masa itu dengan menerjemahkan berbagai ilmu pengetahuan yang berpengaruh besar terhadap peradaban dunia.
Betapa baginda Rasul telah mengisyaratkan terhadap kita atas turunnya Ayat pertama IQRO “bacalah” hal tersebut secara tersirat menjelaskan kepada kita betapa pentingnya membaca. Dan kebanyakan suksesnya seseorang juga karena kuantitas kesibukannya terhadap membaca. Kita bisa menemukan beberapa tokoh-tokoh di lingkungan kita yang memiliki strata status sosial yang terhormat atas isi otaknya. Sebagian besar dari mereka adalah tokoh intelektual yaitu bukan orang-orang bodoh atas ilmu pengetahuan. Mereka membaca, memahami, dan mengaplikasikannya sehingga pengetahuan itu pada gilirannya mampu melahirkan peradaban baru yang lebih cemerlang.
Warren Buffet salah satu orang terkaya di dunia berkata “semakin banyak kamu belajar semakin banyak kamu mendapatkan” hal ini bisa dideteksi dari keberhasilan beberapa tokoh sebut saja Bill Gate yang membaca satu buku dalam seminggu , Mark Cuban membaca tiga jam sehari, Oprah perempuan yang obsesif terhadap buku mereka berhasil karena mereka adalah pelajar seumur hidup, belajar hal baru setiap harinya.
Dari kabar baik yang disajikan tentang membaca, tersirat kehawatiran yang merongrong rasa percaya diri terhadap eksistensi negara sendiri. Betapa tidak dominasi cinta pertama anak bangsa jatuh dalam pelukan wajah teknologi, melupakan buku sebagai barang usang yang tak perlu dihiraukan menjadi kepedean setiap insan yang semakin egois.
Menurut OECD Indonesia berada di peringkat terendah diantara 52 negara di Asia. Unisco pada tahun 2015 pernah melakukan penelitian kemampuan membaca anak-anak, di Eropa anak-anak membaca sebanyak 25 buku dalam satu tahun, di Jepang dan Singapura kemampuan membaca mencapai 17-15 buku dalam 1 tahun, sedankan Indek minat baca Indonesia adalah 0.001. Berarti dari seribu penduduk, hanya satu warga yang tertarik untuk membaca, anak Indonesia terpajang sebagai peringkat rata-rata Nol buku. Duta buku Indonesia mengatakan bahwa sebuah bangsa yang besar tanpa literasi hanya akan menjadi bangsa kelas Teri. Cukup logis bahwa hanya manusia purba yang mengisi zamanya, dan punah habitatnya jika tak mampu menyesuaikan dengan perkembangan alamnya.
Minimnya kecerdasan literasi anak bangsa memuncak pada berbagai sikap yang saat ini tampak jelas di depan mata. Salah satunya sikap perundung, pemaki, mudah diprovokasi tanpa keluasan hati dan imajinasi, tak heran punahnya minat baca menjadikan ciri-ciri ini melekat paten dan semakin menunjukkan keangkuhannya.
Bagaikan musuh buku, begitulah teknologi eksis mengungguli dan menguburkan buku secara berjamaah. Tak pandang kelas dan usia, ia menggerogoti setiap lini kehiduan secara ganas tak tersisa, dan kita bangga atas penyakit itu, sebut saja penggunaan smart phone yang begitu liar hingga hampir tak ada sisa waktu membaca, sekedar bertegur sapa atau sekedar menanyakan bagaimana kabar negara, alih-alih mengatakan membaca buku dalam smartphone lebih praktis, tapi stalking medsos chat nyatanya lebih menggugah selera dengan sangat dinamis.
Bukan hal mengambinghitamkan teknologi, karena sejatinya hidup memilih untuk sadar diri dan memutuskan secara bijak terkendali. Lihatlah kebanggaan gaya hidup sebagai bentuk kehawatiran masa depan bangsa, karena keputusan hanya agar terlihat berkelas dengan sorban asesoris teknologi jauh berbahaya dari sekedar mengonsumsinya sebagai kebutuhan diri. Hal ini berbeda ketika teknologi menjadi ajang bergengsi tanpa peduli hal ikhwal mengupgrade wawasan diri untuk peradaban di kemudian hari.
Oleh: Ustadzah Nur Azizah, S.H.