Identitas Buku
Judul : Kupilih Engkau Karena Allah
Penulis : Jauhar al-Zanki
ISBN : 978-602-7820-01-2
Penyunting : Irin Hidayat
Pemeriksa Aksara : Huni Liviando
Perwajahan Muka dan Isi : Ramadhan Hanafi
Penata Letak : Aryamuslim
Penerbit : Pro-U Media
Ikhtisar Buku
Dalam menentukan pendamping hidup, banyak alasan yang mendasari kita dalam menentukan pilihan, baik dari fisik, sopan santun, kekayaan, ataupun agamanya. Akan tetapi ada hal yang tidak boleh dilupakan ketika kita akan menentukan pilihan yaitu mengadukannya kepada Allah, karena di atas semua pertimbangan dan kriteria yang kita tentukan, ada Allah yang Maha Kuasa. Bila sudah menentukan pilihan, mari yakinkan diri kepada Allah bahwa ini adalah yang terbaik dariNya, berbaik sangka atas segala nikmat dan karuniaNya, berani mencintai, berani menyiapkan diri untuk segera menikahi. Dan hendaklah pernikahan itu di sandarkan kepada Dzat yang memerintahkannya. Sehingga, ketika terjadi riak dan gelombang di kemudian hari kita bisa kembali minta tolong kepada Allah yang telah mempersatukan dalam pernikahan.
Bagi seorang muslim, menikah bukan sekedar bersatunya dua insan dan keluarga, akan tetapi menikah adalah bagian yang tak terpisahkan dari proses penghambaan diri kepada Allah. Menikah merupakan ibadah unggulan yang tidak boleh dilakukan secara sembarangan, ada banyak hal yang dijadikan pertimbangan, dan pertimbangan itu bukanlah untuk mempersulit melainkan mempermudah. Bukan pula untuk berlama-lama tanpa sebab, akan tetapi menyegerakan setelah siap.
Tercapainya tujuan suci pernikahan sangat erat kaitannya dengan proses memilih pasangan, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Dalam hal memilih, Islam memberikan kemudahan. Dalam Islam memilih tidak hanya dilakukan oleh laki-laki saja, akan tetapi perempuan diberikan hak pula untuk memilih. Tentu, dengan cara baik yang sudah diatur dan dicontohkan dengan baik oleh generasi awal agama ini.
Terkait pilihan terhadap calon jodoh, Rasulullah sudah jauh-jauh hari memberikan pesan dalam Sabdanya, “Wanita dinikahi karena empat perkara : hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah karena agama, niscaya kalian akan beruntung.” Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim ini merupakan panduan yang tidak bisa ditawar lagi.
Maka dalam memilih calon pasangan, yang dijadikan acuan utama adalah agamanya. Bukan sekedar kaya, darah biru ataupun cantik. Sehingga, memilih yang cantik, kaya ataupun keturunan ningrat bukanlah larangan. Tapi kesemuanya itu, harus didahului dengan kata shalih atau shalihah (bagus agamanya). Maka, ketika pilihan dijatuhkan kepada mereka yang baik secara agamanya, disertai embel-embel duniawi lainnya, niscaya kita akan beruntung.
Diantara beberapa hal yang harus diperhatikan sebagai syarat keshalihan seseorang yang akan kita pilih adalah, selaras dan seimbang, pandai memelihara diri, santun perangainya, bisa menjaga rahasia, cermat dan bersahaja, menerima apa adanya, gampang dipinang, bibit unggul, taat dan bersahabat, bukan pencemburu buta, suka menyambung kekerabatan, menyayangi anak kecil dan mantap jiwanya.
Setelah pertimbangan-pertimbangan tersebut sudah dibicarakan dengan perantara, baik itu sahabat, guru, ustadz maupun orang tua, maka Islam membolehkan seorang peminang untuk melihat calon yang akan dipinangnya. Melihat dalam makna lahir dan batin. Lagi-lagi, dalam hal ini Islam memberikan aturan yang jelas. Melihat calon diperbolehkan agar peminang semakin mantap terhadap calon pasangan hidupnya itu. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah, “Jika salah seorang diantara kalian meminang seorang wanita, maka tak ada dosa baginya untuk melihatnya jika maksudnya ingin benar-benar meminangnya, meskipun wanita itu tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat). (HR Ahmad dan Thahawi).
Melihat calon juga dianjurkan agar tidak terjadi penyesalan setelah pernikahan. Karena hal ini pernah terjadi di zaman Nabi. Ada Sahabiyah yang menikah dengan seorang sahabat. Memang, akhlak sahabat tersebut sangatlah baik. Namun sebagai manusia, masalah fisik tidak bisa diabaikan begitu saja. Sehingga selepas nikah, sahabiyah itu minta ijin kepada Nabi agar diceraikan oleh suaminya lantaran fisik suami yang tidak seperti dalam bayangannya. Bahkan, dalam riwayat tersebut dikatakan, “Jika saja dia bukan suamiku, aku akan meludahinya ketika melihat wajahnya.” Sahabiyah itu mohon ijin cerai karena takut tidak taat kepada suaminya.
Hal berikutnya yang tidak boleh dilupakan oleh calon peminang adalah mengadukannya kepada Allah. Bahwa di atas semua pertimbangannya, ada Allah yang Maha Kuasa. Hendaklah pernikahan itu disandarkan kepada Dzat yang memerintahkannya. Sehingga, ketika terjadi riak dan gelombang di kemudian hari, pasangan tersebut bisa kembali minta tolong kepada Allah yang telah mempersatukan mereka.
Di luar itu semua, masing-masing muslim memang harus mempersiapkan diri dan berusaha sekuat tenaga. Terkait hasil menikah kapan dan dengan siapa itu adalah hak prerogatif Allah. Manusia hanya pelaku, bukan penentu hasil. Maka ketika belum mendapatkan apa yang diharapkan, bisa jadi, Allah menginginkan agar seseorang berusaha lebih keras lagi, dan lebih cerdas lagi.
Kesiapan masing-masing individu juga tak bisa dikesampingkan. Mulai dari persiapan ilmu sebagai panduan perjalanan, mental sebagai bekal, fisik sebagai sarana, ekonomi sebagai penunjang kebahagiaan dan persiapan sosial dalam rangka bermasyarakat selepas nikah.
Dengan sajian yang mengalir santun dan lembut ini, Jauhar al-Zanki mengajak para calon pengantin untuk sungguh-sungguh dalam proses mempersiapkan diri sebelum mengambil keputusan besar bernama pernikahan. Dengan lugas, penulis menyajikan analisis yang berimbang, dengan panduan kisah-kisah yang terjadi di zaman Nabi. Sangat sayang dilewatkan bagi mereka yang hendak menikah, maupun bagi orang tua yang akan memilihkan jodoh untuk anak-anaknya.
Oleh : Suryadi, S.Pd.