Identitas Buku
- Penulis : Andrea Hirata
- Penerbit : Bentang Pustaka
- Tahun Terbit : 2020
- Tebal Halamn : 306 halaman
- Harga : Rp 78.000
Ikhtisar Buku
Nama Andrea Hirata sudah tidak asing di telinga, setelah karya fenomenalnya Laskar Pelangi yang mengusung tema pendidikan di daerah tertinggal terkenal pada tahun 2009. Jika pada novel Laskar Pelangi menceritakan 9 anak pandai yang semangat belajar, meskipun kesulitan bersekolah karena tinggal di daerah terpencil disertai akses jalan yang kurang memadai. Kali ini Novel Guru Aini ditulis dari sudut pandang guru.
Guru Aini merupakan novel pertama trilogi Guru Aini. Bercerita tentang Guru Desi yang idealias, nyentrik, tegas, dan genius, mengajar matematika di sebuah desa terpencil Tanjong Hampar, Kampung Kutumbi, Sumatera. Setiap tahun ajaran baru berganti, ia selalu berharap mendapatkan murid yang memiliki potensi dalam pelajaran matematika dan sangat menyukai matematika. Tahun berganti tahun, tak kunjung ditemukannya seorang murid yang diharapkannya itu. Seluruh siswa yang ditemuinya tak menyukai matematika, bahkan mereka beranggapan bahwa matematika adalah pelajaran milik anak-anak di perkotaan.
Bernama Debut Awaludin siswa cerdas yang akhirnya ditemukan Guru Desi di tengah kepasrahannya, namun sayangnya Debut Awaludin tidak suka belajar, apalagi mencintai matematika. Hal ini membuat Guru Desi sangat kecewa, bahkan debut memilih untuk berhenti sekolah mengikuti 8 temannya yang kurang beruntung dalam ekonomi dan daya tangkap pelajaran. Sedih Guru Desi, lebih dari sekedar patah hati.
“Memintarkan seorang murid cukup membuat batin seorang guru tertekan, namun murid yang sudah pintar dan mengabaikan kepintarannya akan memukul perasaan seorang guru dengan kegetiran yang tak dimengerti siapapun”. Halaman 66
Tahun berganti tahun kembali, tak jua Guru Desi menemukan murid yang dicarinya, bahkan sebaliknya murid yang datang adalah murid yang terkenal bebal tak pandai pelajaran berhitung, Aini namanya. Ia ingin menjadi murid Guru Desi dan belajar matematika langsung darinya. Keinginannya ini didasari karena ayahnya jatuh sakit dan tak bisa diobati oleh tabib hebat di daerahnya, tabib itu berkata hanya ilmu kedokteran modern yang bisa menyembuhkan ayahnya.
Kendala ekonomi membuat Aini dan keluarganya tidak bisa membawa ayahnya ke kota dan berobat ke dokter. Sejak itu ia bercita-cita menjadi seorang dokter, mengingat nilai matematikanya yang tak jauh dari bilangan biner, Aini bertekad baja untuk belajar mati-matian dan melawan rasa gentar berguru kepada Guru Desi yang terkenal galak bak halilintar.
Jatuh bangun Aini belajar melawan kebebalan dirinya dalam matematika, dampratan Guru Desi menjadi makanannya sehari hari dari yang halus hingga bak halilintar di siang bolong sudah tak dihiraukannya lagi. Berbagai cara mengajar telah dicoba Guru Desi, hingga saking putus asanya melihat perkembangan Aini, guru Desi menasihatinya secara halus agar menyadari kemampuannya.
“Tak ada satu ilmu pun yang lebih penting dari ilmu lainnya. Kecerdasan punya seribu muka”. Halaman 173
Tak ada yang bisa menggoyahkan keinginan Aini menjadi pandai matematika, melihat semangat Aini, Guru Desi mencoba untuk lebih semangat mengajarinya melalui berbagai macam metode belajar. Idealismenya bangkit kembali, metematika bukan bakat namun bisa dibentuk dan dipelajari. Akankah Aini pandai matematika dan bisa mewujudkan cita-citanya?.
“Guru terbaik adalah Guru yang tak kenal lelah mencari cara agar muridnya mengerti”. Halaman 194
“Tak ada yang lebih membuat murid gembira selain berhasil mempelajari sesuatu, dan tak ada yang membuat seorang guru gembira selain menemukan cara mengajari muridnya”. Halaman 236
Novel ini disajikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami walaupun kental dengan unsur bahasa daerah setempat, dengan latar tempat di pelosok Tanjong Hampar kota Kutumbi penulis mahir mengambarkan bagaimana kehidupan di desa tersebut. Latar waktu berkisar awal tahun 1970an, membuat seperti sedang mempelajari sejarah masa lampau. Beberapa hal tidak sesuai dengan saat sekarang seperti misalnya adanya pelajaran PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga).
Bertemakan pendidikan, novel ini sangat menginspirasi tidak hanya bagi pendidik / guru tapi juga bagi setiap orang yang membacanya. Memberi pandangan baru tentang bakat, usaha dan kerja keras. Dalam novel ini penulis menyampaikan kritik terhadap pemerintah mengenai pendidikan, yang belum bisa dirasakan adil bagi seluruh rakyat Indonesia, karena sejatinya biaya pendidikan untuk beberapa jurusan kuliah tidaklah mudah dijangkau bagi masyarakat menengah kebawah sebut saja Fakultas/Jurusan Kedokteran.
Mengenai kekurangan buku ini, fokus kepada matematika membuat semua murid dinilai pandai hanya jika ia pandai matematika, meskipun disampaikan bahwa kecerdasan punya seribu muka, namun pada novel ini tidak dihadirkan tokoh pelengkap yang bisa memberi gambaran ia tak pandai matematika tapi pandai dibidang lainnya. Novel ini cocok dibaca untuk semua kalangan, bagi guru dan murid ia akan memberi padangan dan semangat baru untuk terus mengajar dan belajar. Bagi orang tua akan memberi pandangan baru bahwasanya apapun bakat sang anak orang tua adalah garda utama pembangun dan penjaga semangat sang buah hati, apapun yang terjadi memuji dan menghargai kelebihan serta kekurangan anak-anaknya adalah salah satu tugas orang tua.
Oleh : Diana Istighfarin, S.E.