Judul buku : From Beirut to Jerusalem: Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan
di Kamp Pengungsian Palestina
Penulis : dr. Ang Swee Chai
Penerbit : Mizan Pustaka
Cetakan : Agustus, 2010
Tebal buku : 476 halaman
Harga : Rp. 80.000,-
Sinopsis:
Sebagai seorang Kristen fundamentalis, dulu aku mendukung Israel. Pengalamanku di Sabra-Shatila menyadarkanku bahwa orang Palestina adalah manusia. Kebodohan dan prasangka telah membutakan mataku dari penderitaan bangsa Palestina. Buku ini adalah kesaksianku.
Mulanya, karena latar belakang religinya, dr. Ang Swee Chai adalah pendukung Israel. Di matanya, orang Palestina adalah teroris. Namun, pada 1982, Israel menyerang Beirut dengan brutal. Keyakinannya pun mulai goyah.
Ia putuskan untuk membuktikan sendiri dengan menjadi sukarelawan medis di Beirut. Di sana, di kamp pengungsian Palestina, setelah menjadi saksi Pembantaian Sabra-Shatila, akhirnya ia temukan jawaban. Ia berbalik memihak rakyat Palestina, memihak keadilan dan kemanusiaan. Di tanah asing, ia pertaruhkan nyawanya untuk membela orang-orang yang tak punya hubungan darah maupun etnis dengan dirinya, untuk melaksanakan kewajibannya sebagai dokter, sebagai manusia.
Resensi
Kisah seoarang dokter ahli bedah yang menyuarakan kesaksiannya dalam kejadian Pembantaian Israel terhadap Rakyat Palestin.
Melihat pemberitaan di berbagai media tentang penyerangan Israel ke Lebanon yang mengakibatkan banyaknya korban berjatuhan dari wanita atapun anak – anak yang terluka hingga tewas, menggugah hati seoarang dr. Ang untuk terjun berkontribusi dalam sebuah visi kemanusiaan yang memanggil jiwanya sebagai seorang dokter untuk korban perang di Timur Tengah
Agustus 1982, dr. Ang bersama sekitar 100 sukeralawan dari berbagai penjuru Dunia terbang menuju Siprus dan menggunakan Kapal Feri menuju Beirut. Tiba di Beirut dr. Ang dan 6 sukarelawan lainnya memutuskan untuk bargabung dengan organisasi kemanusiaan yang terletak di Beirut Barat dan akan bertugas di rumah sakit GAZA. Pada saat menginjakkan kaki di Beirut Barat serangan udara terburuk telah usai, namun dr. Ang terhenyak melihat kerusakan , hancur berantakan dimana mata memandang semua luluh lantah akibat serangan bom, granat dan senjata laiinya.
Setelah hampir satu decade perang sipil, Lebanon kini dipenuhi banyak pasukan bersenjata. Banyak individu yang memiliki senapan mesin ataupun sepucuk pistol. Organisasi – organisasi swasta mempunyai alat peluncur roket, bahkan tank. Kini dilakukan upaya pelucutan senjata secra besar- besaran: negara sudah lelah dengan perang ini benar – benar serius dalam mewujudkan perdamaian. Di seluruh Beirut, orang – orang menyerahkan senjata mereka, unit – unit angkatan bersenjata Lebanon berkeliling kota serta kamp – kamp, memanggil para penduduk untuk menyerahkan senjata merek. Gudang senjata juga dikosongkan oleh para tentara. (hal 94-95)
Selasa 14 september adalah hari yang indah. Jalan – jalan dibersihkan dari blockade. Air dan listrik di rumah sakit kembali mengalir. ( hal 96)
Lebanon dan Palestin optimis perdamian akan digegamnya setelah perjanjian gencatan senjata. Keadaan mulai terlihat membaik. Namun pukul 11 malam dr. Ang dibangunkan oleh dentuman yang sangat keras hingga semua bergetar, pemberitaan pun muncul. Pengeboman di Beirut Timur dan salah satu korbannya yaitu presiden terpilih Lebanon, Bashir Gemayel telah tewas pada serangan tersebut.
Pembantaian di Sabra dan Shatila pada tanggal 15,16,17 18 September 1982 dengan 2.400 korban meninngal tercatat dan banyak korban yang belum ditemukan telah disaksikan sendiri oleh dr. Ang. Disinilah titik balik seorang dr. Ang, seorang dokter yang berbalik arah memihak bangsa palestin. Seorang dokter yang awalnya hanya menjalankan misi menjadi tenaga medis kini bertekad untuk menyampiakn kepada dunia kenyataan yang dilihatnya. Pertama kalinya dia menyuarakan pada tanggal 22 september dengan menuliskan pesan kepada suaminya. Hingga akhirnya dia menyuarakan kesaksiannya dengan lantang di hadapan komisi Kahan diTel – Aviv bersama rekannya Ellen Siegel dan Poul sebelum akhirnya dia harus kembali ke London pada November 1982.
Perjuangannya tidak berhenti sampai disana. Di London bersama suaminya dia mulai aktif menyuarakan tentang palestin, hingga dr.Ang membuat organisasi amal yang disebut MAP yang didrikan pada tahun 1984. Dan pada saat terjadi penyerangan atar milisi pada tahun 1985, dr. Ang dan Tim MAP mengirimkan sukarelawan serta bantuan medis.
23 Januari 1987 dr.Ang mendapatkan kabar dari sukarelawan yang berdada di Beirut Barat, terjadi pengepungan di kamp Sabra – Shatila selama lebih dari 12 minggu yang mengakibatkan kelaparan dan kehausan, yang mengharuskan mereka tetap tinggal di bunker dengan lebih dua puluh ribu orang dan siap untuk tertembak mati jika keluar dari bunker. Tentara siap menembak siapa saja yang melintas keluar, bahkan organisasi yang mengirimkan bantuan ditembaki.
Hingga 14 minggu sudah terkepung para penduduk dan sukarelawan yang terkurung di bunker belum mendapatkan bantuan, hingga akhirnya pada tanggal 30 Maret 1987 dr. Ang menyampaikan surat diplomat permohonanan bantuan kepada Presiden suriah Hafiz al-Assad. Pada tanggal 6 April 1987 akhirnya tentara Suriah bergerak mengambil alih dalam rangka gencatan senjata. dr. Ang terus mengusahakan perundingan perdamaian untuk warga Palestine hingga mendapat penghargaan’The star of Palestine’.
Oleh : Dewi Sartika S.Pd
