“Bertengkar, sampai bermerah-merahan muka, asalnya mencari mana yang salah dan mana yang benar. Akhirnya berganti menjadi merendahkan orang lain dan tidak menghargakan pendapatnya. Perkataan yang telah keluar dari pokok kata, kemarahan timbul, kebenaran hilang. Persahabatan berganti jadi permusuhan. Renggang hati kedua belah pihak. Atau mematahkan kata kawan, merendahkan pendapatnya, tidak dihargai, dicemoohkan, dikecilkan. Bagi tukang cemooh ini, tidak ada pendapat yang berharga, tidak ada buah pikiran yang benar. Kerjanya hanya mencari mana yang salah, dimana cacat dan celanya. Budi begini sangat rendah, tidak bisa dibawa ke tengah. Pekerjaan mencela mudah. Tidak ada yang semudah mencela di dunia ini.” (Buya Hamka, Tasawuf Modern)
Inilah hal yang dirasakan oleh Buya Hamka dizamannya, dimana permusuhan, pertikaian, saling merendahkan bisa merusak persatuan.
Hal-hal semacam ini hakikatnya senantiasa ada disetiap zaman. Yang beda adalah pelaku dan waktu. Walaupun berbeda zaman, kita yang berada di zaman setelahnya seharusnya bisa memetik pelajaran dari apa yang telah terjadi sebelumnya. Bukan justru masuk ke lubang yang sama.
Buya Hamka adalah salah satu tokoh nasional yang dimiliki Indonesia yang fenomenal, nama lengkap beliau adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, beliau adalah seorang ulama, sastrawan, sejarawan, dan juga sekaligus negarawan. Buya Hamka menguasai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Beliau pernah ditunjuk sebagai menteri agama dan juga aktif dalam perpolitikan Indonesia. Beliau lahir di Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981.
Dari latar belakang beliau, tentu beliau memahami tentang karakter orang Indonesia, dimana kultur daerah, pulau, dan bahasa yang begitu beragam merupakan bagian dari potensi perbedaan yang begitu besar, tapi oleh beliau terus diperjuangkan untuk terus disatukan. Bersama tokoh-tokoh yang lain tentunya, mereka berusaha saling menjaga persatuan itu agar tidak direbut oleh para serigala yang siap memangsa Indonesia. Walaupun di antara tokoh-tokoh Bangsa sendiri ada perbedaan soal ideologi maupun cara membangun bangsa itu sendiri yang terkadang sangat sengit untuk mendapatkan kesepakatan, tapi mereka antar tokoh Bangsa berusaha untuk terus berkomunikasi, bermusyawarah agar sama-sama mendapatkan jalan keluar. Yang terpenting adalah, cara menghadapinya, dengan cara yang bijak dan tepatkah? Atau kebalikannya? Itu tergantung kita yang menentukan sebagai anak Bangsa.
Salam persatuan.
Oleh : Muhammad Sahlan