Akhlak adalah masalah yang sangat penting dibicarakan ditengah-tengah masyarakat dan keluarga. Adab dan akhlak sangat penting dalam kehidupan sendiri, keluarga ataupun sosial. Yang lebih penting lagi adalah adab kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan adab seorang muslim yang sejati akan menjadi mulia di hadapan Allah dan Rasul Nya.
Dalam kehidupan sehari-hari tentu banyak panorama dalam kehidupan sehari-hari seperti bagaimana kita hidup dalam bermasyarakat, saling menghargai, dan saling menghormati di dalam kehidupan bermasyarakat yang tentunya kita dituntut untuk kita bagaimana dapat hidup bersosialisasi. Di pembahasan ini, akan menjelaskan mengenai akhlak guru.
Akhlak secara bahasa adalah kata yang diambil dari bahasa arab yaitu akhlaqa, yakhluqu, ikhla>qan yang berarti perangai, kelakuan, tabi’at, watak dasar, kebiasaan, kelaziman, peradaban yang baik dan agama.[1] Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali, akhlak ialah ibarat dari perilaku yang tetap dan meresap dalam jiwa, darinya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan wajar dan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan.[2]
Sedangkan kata guru adalah seorang pendidik. Pendidik ialah orang yang memikul tanggung jawab untuk membimbing. Pendidik tidak sama dengan pengajar, sebab pengajar itu hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada murid.
Guru berati juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya. Agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya. Dan mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT.
Dari beberapa definisi dari kedua pembahasan akhlak dan guru di atas maka yang dimaksud dengan akhlak guru di sini adalah perilaku, sifat atau tabi’at yang harus ada pada diri seseorang yang memiliki tugas mendidik dan mengajarkan ilmu pada anak didiknya.
Menurut KH. Hasyim Asy’ari, ada empat hal yang harus diperhatikan mengenai akhlak guru terhadap diri sendiri yakni:
- Pembiasaan diri dengan sifat-sifat utama
Sifat-sifat utama adalah murokobah, khouf, wara’, tawadlu’, khusuk dan zuhud. Inilah beberapa jalan tasawuf atau sifat kesufian yang harus dijalani dan ditempuh oleh para guru.
Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa jalan tasawuf ini akan menuntun para guru kepada mengenal Tuhan atau ma’rifat billah dan bertaqarrub kepadaNya[3], kondisi ini akan bisa menjaga hati agar selalu berpijak pada norma-norma Illahi dan pada akhirnya ilmunya akan membawa kebaikan karena selalu dekat dengan norma Illahi.
Dengan aktifnya sifat-sifat ini seorang guru akan selalu berusaha menjauhi dan meninggalkan perbuatan yang dapat mengurangi kehormatannya (muru’ahnya) terlebih perbuatan-perbuatan yang mencemari hati dan hal-hal yang dibenci syariat maupun adat kebiasaan. Dan juga membiasakan diri pada kesunahan-kesunahan syar’i, seperti membaca Al-Qur’an, dzikir kepada Allah, puasa sunnah, dan lain-lain.
- Tidak menjadikan ilmu yang dimiliki sebagai alat mencapai keuntungan dunia
Konsep ini mengajarkan kepada guru tentang pentingnya keikhlasan dalam semua aktivitasnya. Penilaiannya, ia serahkan seutuhnya kepada Allah. Ia melakukan semua ini atas dasar ibadah dan kewajibannya selaku orang yang beriman. Ia tidak pernah mengharapkan imbalan apapun kecuali pahala dari Allah. Seperti yang sudah dijelaskan dalam QS. Hud ayat 29 yang berbunyi:
وَيَا قَوْمِ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالا إِنْ أَجْرِيَ إِلا عَلَى اللَّهِ وَمَا أَنَا بِطَارِدِ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّهُمْ مُلاقُو رَبِّهِمْ وَلَكِنِّي أَرَاكُمْ قَوْمًا تَجْهَلُونَ.
Dan (dia berkata): “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui”.[4]
Ikhlas beramal menunjukkan bagaimana seorang hamba menyatakan diri di hadapan Allah ketika beribadah. Ada dua cara untuk mencapainya: Pertama, beramal kepada Allah, tidak ada sandaran amal selain Allah belaka. Kedua, beribadah atas kehendak Allah sesuai dengan tata tertibnya dan peraturan Allah.
Adapun lawan dari ikhlas adalah riya’ (pamer amal) yang tidak hanya merusak keimanan. Akan tetapi, akan mencemari hati manusia (guru) dengan bercak-bercak hitam, yang kelak akan menutupi seluruh permukaan hatinya dari cahaya kebenaran. Kondisi seperti ini, akan menyebabkan guru salah langkah dan lupa amanat keilmuannya. Akibatnya, ia memanipulasi dan menyalahgunakan ilmunya demi kepentingan dunia.
Lalu bagaimanakah dengan gaji guru yang selama ini mereka terima? Imam Ghazali dalam kitabnya menyatakan seorang tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya dalam mengajar.[5] Maka dapat dikatakan bahwa konsep ini berbeda dengan menerima. Gaji yang selama ini diterima guru adalah merupakan pemberian atau upah dari pemerintah atau lembaga pendidikan lain atas kerja dan baktinya guru, sehingga gaji yang diterima adalah sah dalam artian boleh dan tidak haram.
- Kesadaran diri sebagai teladan
Al-Ghazali mengatakan “Seorang guru itu harus mengamalkan ilmunya, lalu perkataannya jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan mata hati. Sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. Padahal yang mempunyai mata kepala adalah lebih banyak. Dapat dikatakan bahwa dasar-dasar yang dikemukakan al-Ghazali dalam pentingnya suri teladan terhadap anak didik.
- Selalu punya semangat mengembangkan ilmu.
Sebagai guru yang profesional, ilmu pengetahuan dan keterampilannya itu harus selalu ditambah dan dikembangkan. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat dengan melakukan penelitian menyusun dan merangkum kitab. Hal ini di samping dapat memperdalam esensi keilmuannya juga ilmu pengetahuan yang diajarkan akan tetap terdepan, aktual relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Guru diharapkan tetap bersemangat belajar dari manapun datangnya ilmu tanpa membeda-bedakan status dan persoalan-persoalan lainnya Hal ini senada dengan perkataan Imam Wakiq bahwa seseorang tidak akan disebut Alim sehingga ia mau mendengarkan ilmu dari orang yang lebih tua, (ilmunya), seumur (sama) dan orang yang berada dibawahnya.[6]
Semangat mengembangkan ilmu itu akan berbuah penguasaan ilmu pengetahuan yang akan diajarkan secara mendalam. Dari sini, guru akan dapat menyampaikan dan mengajarkan ilmu pengetahuan tersebut secara efektif dan efisien. Inilah salah satu sifat guru profesional.[7]
Adapun kasih sayang terhadap murid, dibagi menjadi dua, yakni : Pertama,kasih sayang dalam pergaulan. Berati guru harus lebih lembut dalam pergaulan, misalkan terjadi sesuatu kesalahan atas diri muridnya hendaknya seorang guru menegurnya dan menasihatinya dengan baik dan jangan sekali-kali mencelanya karena itu akan melukai prestisenya. Kedua, kasih sayang dalam mengajar, ini berarti seorang guru tidak boleh memaksa muridnya mempelajari sesuatu yang belum dapat dijangkaunya. Pengajarannya harus dirasakan mudah oleh muridnya.
Dalam kasih sayang ini ada semacam tuntutan guru harus mengetahui perkembangan kemampuan murid-muridnya.[8] Konsep kasih sayang ini juga didasarkan atas paham para ahli pendidikan bahwa bila guru telah memiliki kasih sayang yang tinggi kepada muridnya. Maka guru tersebut akan berusaha sekuat-kuatnya agar bisa memberikan yang terbaik kepada murid yang disayanginya dan rela berkorban inilah puncak dari cinta.
Etika Guru terhadap murid merupakan konsep kecintaan guru kepada muridnya. Cinta melahirkan kelembutan dan bijaksana, sabar, murah hati, kemudahan, semangat dan kekuatan, rela berkorban, perhatian, penghargaan, adil, senang membantu, keramahan dan kasih sayang.
Sifat-sifat cinta ini sangat diperlukan guru dalam aktivitas pengajarannya. Sifat-sifat tersebut akan melahirkan rasa aman, tenang, damai, dan senang pada diri anak didik sehingga mereka betah menemani gurunya dalam belajar. Tidak ada lagi perasaan malu, takut, minder dan canggung dalam berekspresi dan berkreasi.
Murid tidak lagi menganggap gurunya sebagai orang lain tapi bagian dari diri mereka sendiri. Hal ini akan menciptakan hubungan yang harmonis dan hangat juga komunikatif yang pada akhirnya memudahkan tercapainya misi masing-masing guru dan murid.
Oleh : Fitria Ramadhaningrum, S.Ag.
[1]Abuddin Nata, Akhlaq Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, Persada, 2014), 1
[2]Zainudin, dkk. Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, Cet. 1 (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), 104.
[3]Moh Saifullah Al Azis, Risalah memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya:Terbit Terang, 1998), 39.
[4]Alquran, 11: 29.
[5]Imam Gozaly, Ikhya’ Ulum Aldin, Vol. 7 (Semarang: Toha Putra, t.t.h), 56.
[6]Hasyim Asy’ari, Adab al Alim wal Muta’alim (Jombang: Maktabah Al Turas Al Islam, TT).
[7]Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, Cet I. (Jakarta: Grasindo: 2001), 139.
[8]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam, Cet. IV (Bandung: Renungan Rosda Kerja, 2004), 85