Negeri Api, kusematkan nama itu pada negeriku ini. Bukan karena ku tak mencintainya, namun karena begitu dalamnya rasa cintaku pada negeri ini hingga kuberikan julukan itu padanya. Aku mencintainya, tapi apakah semua orang juga begitu?. Who knows??. Di satu tempat, banyak generasi muda yang berlomba untuk mengabdikan ilmunya, namun di sisi lain banyak generasi pertengahan yang sedang merusak bangsa ini.
Negeri Api, kunamakan itu bukan karena banyaknya gunung berapi aktif di sini, namun karena suatu hal. Tak bisakah julukan itu beralih menjadi Negeri Cinta. Aku hanya ingin negeri yang kutinggali puluhan tahun ini mempunyai julukan yang cantik seperti itu. Karena di dalamnya, akan selalu penuh cinta kasih pada sesama dan semua hal yang baik-baik. Namun, agaknya negeri cinta itu hanya angan semata.
Negeri Api, hampir 23 tahun aku berada di dalamnya dan menjadi bagian di dalamnya. Pernah terbersit dalam benakku saat berusia 15 tahun untuk berpindah kewarganegaraan. Bukan karena hal yang serius, tapi benar-benar serius. Di negeri yang kaya ini, bahkan mengemis dijadikan sebuah profesi. Apakah mental masyarakat kita seperti itu?, Who knows??. Bahkan saat inipun, miris sekali rasa hati ini melihat pemberitaan di media. “Yang Uzur yang disidang” begitulah tagline dalam salah satu surat kabar harian negeri ini.
Apakah memang seperti itu tugas para petinggi di sana. Kasus-kasus lama ditumpuk dan setelah dirasa sudah tak mampu barulah disidangkan dengan penuh rekayasa. Bukan hanya sekali dua kali, tapi ini telah terjadi berkali-kali. Hanya ingin tahu, seperti apa logika Bapak Ketua Hakim yang terhormat saat memutuskan perkara tersebut. Bagaimana jika itu terjadi pada saudara-saudara mereka, sekali lagi who knows??.
Ada yang bilang, di negeri ini tidak ada yang namanya kebal hukum. Jika begitu, apakah harus yang tua disidang hanya karena beberapa permasalahan sepele. Sedangkan tikus-tikus di luar sana dibiarkan bebas berkeliaran sedemikian rupa, bahkan telah menggerogoti di setiap tempat yang disinggahi. Apakah begitu sistem hukum kita? ku tak tahu karena aku hanyalah masyarakat awam yang merasa miris dengan apa yang telah terjadi.
Mengapa, mengapa selalu permasalahan ditumpuk dan digugatkan saat waktunya tepat. Entah tepat yang seperti apa, mungkinkah tepat untuk menjebaknya, tepat untuk menggeser jabatannya, atau tepat-tepat yang lainnya. Ini bukan sekedar coretan tinta saja karena buktinyapun sudah ada. Seperti contohnya kasus yang menimpa Bapak BW, beliau digugat dengan kasus lama yang belum terselesaikan.
Tak hanya Bapak BW, beberapa masyarakat uzur pun mengalaminya. Hanya karena mencuri 3 piring, dituduh memetik kakao di lahan orang, dituduh mencuri 6 batang bambu, dan lain-lainnya mereka harus menjalani persidangan. Bagaimana dengan tikus-tikus gendut berbaju hitam dan tengah ongkang-ongkang kaki di kantornya, apakah ada yang menjeratnya dalam pengadilan. Ah, ketika hukum bisa dibeli dengan uang, semua yang tak beruangpun takkan menang.
Negeriku, maaf bukan maksudku untuk mengkritikmu begitu. Kamu terlalu indah untuk dikritik. Aku hanya tak ingin dirimu ditinggali oleh oknum-oknum seperti itu. Aku tak ingin, dilahanmu yang luas itu tersimpan banyak tikus di bawahnya. Akupun tak ingin, banyak harimau yang akan menerkam mangsanya dengan brutal. Bisakah kamu mengusir mereka, negeriku?. Jika ingin menjadi negeri cinta, kita harus berkorban banyak negaraku.
Tak bisakah kau membunuh mati tikus-tikus itu, agar lahan kita tak lagi kebobolan di sana sini. Begitupula dengan harimau, jinakkanlah atau bunuh saja dia agar tak ada lagi nyawa yang merasa diperlakukan tak adil. Maaf sekali negeriku, sekali lagi kukatakan aku tak bermaksud untuk mengkritikmu seperti itu, aku hanya ingin berbagi keluh kesah saja denganmu. Mungkin saja, keluh kesah ini kau dengarkan atau malah kau abaikan. Terimakasih negeriku, karena ku telah dilahirkan dan dibesarkan di tempat indah ini. Maaf, karena ku belum bisa memberikan sesuatu untukmu, namun aku akan berusaha untuk itu.
Terima kasih Negeri Apiku..
Oleh : Nina Nur Azizah, S.Pd.