Madrasatul ‘Ula

“Banyak ibu-ibu yang sebenarnya tidak tahu bagaimana menghadapi perkembangan (tumbuh kembang-red) anaknya..”

Kalimat itu masih saya ingat jelas, diucapkan oleh seorang aktivis perempuan yang berasal dari pelosok Kepulauan Riau.

Bicara soal madrasatul ‘ula, kita bicara soal perempuan. Per-empu-an, yang diberikan rahim untuk tempat tumbuh kembang janin hingga siap dilahirkan menjadi bayi, lalu mereka merawat, membesarkan, dan mendidik. Madrasah pertama manusia.

Adalah suatu kesempatan yang selayaknya wajib disyukuri, saya diamanahi untuk mengajar mengaji untuk anak-anak di suatu komunitas dekat rumah. Anak-anak yang “tidak biasa”. Begitu sebutan saya buat mereka. Faktor lingkungan menjadi faktor terlihat yang bisa suatu saat saya ‘persalahkan’ ketika saya merasa gagal dalam mengajari mereka.

Tapi kemarin sore saya baru menyadari satu hal.

Al madrasatul ‘ula. Pendidik utama anak-anak itu.

Saat seorang balita sedang sibuk bertanya soal –kenapa kuku temannya berwarna hitam semua- pada saya, seorang ibu muda yang duduk tak jauh dari saya menyela pertanyaan si balita, “Kamu tuh ya, banyak tanya!”

Lalu saya seutuhnya paham, bahwa masalah pada tingkah laku dan karakter anak-anak di sana sebenarnya bukan hanya dari faktor eksternal, namun yang penting adalah internalnya. Keluarganya. Dan terutama, ibunya.

Maka menjadi click pernyataan aktivis perempuan yang saya sebut tadi dengan kejadian kemarin sore itu. Banyak ibu yang mungkin tidak paham bagaimana seharusnya memperlakukan anak-anaknya. Bagaimana cara berbicara kepada anak-anak yang berbeda umurnya, bagaimana cara menasihati, bagaimana cara menegur, bagaimana memberi perintah, termasuk bagaimana caranya bercanda sekalipun, sehingga bukan soal yang mengherankan jika banyak anak yang menjadi (ber)masalah dengan temannya, lingkungannya, dan tempat dia berada.

Mengapa?

Mungkin, banyak perempuan yang ‘tidak sadar’ bahwa sebenarnya tugasnya bukan hanya melahirkan anak saja, lalu membesarkan, menyekolahkan, dan memenuhi kebutuhannya. Banyak yang mungkin kurang paham, lalu menerapkan, apa dan bagaimana sebenarnya kedudukan dan perannya sebagai seorang ibu. Sehingga banyak mungkin kita lihat seorang ibu dengan santainya memperlihatkan kebiasaan-kebiasaan buruk masa gadisnya kepada anaknya, dan tanpa ragu si anak menduplikat apa yang dilihatnya.

Dan taraa, si ibu lalu akan merasa heran mengapa si anak lebih suka nonton TV daripada mengerjakan PRnya, padahal bisa saja ketika si anak hendak mengerjakan PRnya lalu si ibu tidak ngeh dengan kondisi anaknya yang membutuhkan bantuannya untuk mengerjakan PR karena asyik menonton TV, tiba-tiba si anak memutuskan secara otomatis untuk batal mengerjakan PRnya. Toh ibuku juga nonton, kok!

Lalu di lain kesempatan si ibu terheran-heran mendapati kenyataan bahwa anaknya justru makin bandel ketika disekolahkan atau dimasukkan dalam TPQ atau tempat belajar lainnya. Padahal, ialah madrasatul ‘ula si anak. Pendidik pertama dan utama. Padahal, sekolah dan TPQ hanya sarana pendidikan, bukan bengkel yang bisa memperbaiki ‘kerusakan’ pada anak.

**************************************************

Saya jelas bukan seorang pakar parenting. Tapi fenomena-fenomena semacam ini dapat dilihat dan diurai dengan jelas jika saja mau dipikirkan dan dipelajari. Sebab, apapun profesinya, apapun pendidikannya, semua perempuan ditakdirkan untuk menjadi ibu. Suka tidak suka.

Tidaklah seorang ibu yang tidak bersekolah akan melahirkan anak-anak yang bodoh. Pun tidak menjamin seorang ibu dengan gelar sederet akan menjamin sukses dalam mendidik anak.

Jadi,

Selamat mendidik anak, wahai para ibu..

Dan selamat mempersiapkan diri, para calon ibu.

 

Oleh : Eka Jana

Share Yuk ...

Leave a Replay