Islam dan Budaya

Menjadi Muslim tidak harus menjadi Arab, karena tak semua Arab juga Muslim, itu semua nggak masalah. Yang jadi masalah adalah kalau ada Muslim tapi anti-Arab.

            Dia Muslim, tapi anti dengan istilah Arab, anti dengan jilbab, kerudung, sorban, dan jenggot yang menurutnya budaya Arab, jadi yang dia anti itu, Arab atau Islam?

            Lebih parah lagi, mereka mempunyai pemikiran yang menganggap ajaran Islam adalah ajaran impor dari luar yang harus bisa menyesuaikan dengan budaya lokal dan berdalih bersinergi dengan kearifan budaya lokal. Hal ini akan berbahaya karena yang mereka inginkan sesungguhnya pembauran sampai menyentuh kepada sesuatu yang paling hakiki yaitu wilayah ibadah dan akidah yang pada gilirannya akan terjadi pendangkalan dan akhirnya menjauhkan ummat Islam dengan ajaran agamanya.

            Seumur-umur, Islam tidak pernah meniadakan budaya. Sebab, Islam itu di atas budaya. Pengakuan Islam pada budaya, adalah pengakuan Islam atas ragam manusia. Para ulama, telah menuntaskan bagi kita, mana perkara pokok dan cabang dalam agama, dan mana perkara yang bagian dari budaya, sangat terang benderang.

            Misalnya, tidak ada yang mewajibkan shalat dengan gamis, atau mengharuskan haji naik unta. Karena itu bagian dari budaya, yang bisa berubah sesuai zaman dan keadaan. Akan tetapi, wanita berhijab, haji harus di Makkah, thawaf harus di Ka’bah, Al-Fatihah harus dengan bahasa Arab. Sebab ini bagian agama, bukan hanya budaya Arab.

            Begitu juga di Nusantara, keberhasilan dakwah salah satunya karena walisongo yang sangat memahami budaya, dan mampu menjadikannya wasilah dakwah yang baik. Sebab itulah sampai sekarang, kita bisa melihat di nusantara ini, ramai ulama yang sangat apik dakwahnya, luwes, dan bijak dalam menyampaikan tausiahnya yang memadukan antara ajaran agama Islam dan budaya lokal karena beliau meletakkan Islam di atas budaya.

Oleh : Ir. Moh. Khairi Suryono

Share Yuk ...

Leave a Replay