“Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. Jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: ‘ini adalah dari sisi Allah’, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan:’ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)’. Katakanlah: ‘semuanya (datang) dari sisi Allah’. Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS. An-Nisa: 78).
Bukankah sebaik-baik nasihat itu adalah tentang kematian?
Banyak yang sebenarnya dengan sengaja melupa, bahwa apa-apa yang ada di dunia ini selalu ada awal dan akhir, selalu ada lahir dan mati. Hingga tanpa sadar, orang kayapun akan berpakaian kain kafan sebagaimana orang berkecukupan. Orang berpangkatpun akan tertimbun di bawah tanah, sebagaimana orang-orang yang kesehariannya mengorek-ngorek sampah.
Mungkin
“hari ini orang memanggil namaku, mungkin esok orang memanggil aku almarhum”
“hari ini aku memakai pakaian yang mewah, mungkin esok aku memakai kain kafan”
“hari ini aku berpijak di atas tanah, mungkin esok aku terbujur di bawah tanah”
“hari ini aku boleh mandi sendiri, mungkin esok aku dimandikan oleh orang lain”
“hari ini aku sholat di belakang imam, mungkin esok aku di sholatkan di depan imam”
Akan datang dimana penyesalan itu tidak berguna, seandainya seorang mayat bisa berbicara, dia akan meminta untuk dihidupkan kembali di dunia. Karena dia sudah melihat betapa pedihnya azab akhirat, dan dia meminta untuk dihidupkan walau hanya sehari yang akan dihabiskan sepenuhnya untuk beramal shalih.
Sayangnya, sekalipun dia menangis dan meronta-ronta, permintaan itu tidak akan pernah dikabulkan.
Maka sudah semestinya kita yang masih ada kesempatan dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Bukankah kita tidak mau menjadi salah satu dari hamba yang menyesali atas keterbuangan waktu yang sia-sia?
Dahulukan urusan akhiratmu, maka dunia akan mengikutimu. Yang bersifat kekal jangan dikalahkan dengan yang bersifat sementara.
Semoga kita bukan salah satu dari orang yang melupa, bahwa perjumpaan dengan Allah itu nyata.
Oleh: Ustadzah Laila Fina Jayanti, S.Pd.