Pendidikan di Indonesia hingga sekarang masih menyisakan banyak persoalan. Baik dari segi kurikulum, manajemen, maupun para pelaku dan pengguna pendidikan. Sumber daya manusia (SDM) masih belum mencerminkan cita-cita pendidikan yang diharapkan. Sering kali ditemukan kasus seperti siswa yang mencontek ketika ujian, kurang semangat, terlalu banyak bermain, hura-hura, tawuran, mempraktikkan pergaulan bebas, menggunakan narkoba, dan melakukan tindak kriminal. Di sisi lain, masih ditemukan pula guru yang melakukan kecurangan-kecurangan dalam penyelenggaraan ujian nasional (UN).
Hampir semua guru dan orang tua setuju bahwa pendidikan karakter merupakan bagian penting dalam sebuah proses pendidikan. Jika kita membaca bagaimana situasi masyarakat sosial kita pada saat ini. Seperti maraknya perkelahian antar pelajar dan mahasiswa, tindak kekerasan baik di jalanan maupun di sekolah. Perilaku tidak jujur yang tercermin dalam tindak korupsi, pemanfaatan jabatan, budaya mencontek, ketidakdewasaan pribadi seperti tercermin dalam penggunaan obat-obatan , penyimpangan perilaku seksual di kalangan remaja dan masih banyak lainnya.
Pendidikan karakter seyogyanya dilakukan pada anak usia dini atau fase balita. Hal ini, berkaitan dengan awal mula ia berinteraksi sosial pada lingkungan keluarga yakni orang tuanya. Karena fondasi pembentukan karakter anak dimulai dari lingkungan keluarga berlanjut ke sekolah dan masyarakat. Sebab keluarga yang baik akan membentuk masyarakat yang baik, dan masyarakat yang baik akan membentuk negara yang baik pula.
Peran dalam menciptakan bangsa yang berkarakter, tidak bisa terbentuk hanya sepihak saja tetapi kombinasi dari berbagai pihak khususnya dunia pendidikan. Karena karakter pribadi seseorang, sebagian besar dibentuk oleh pendidikannya dan revitalisasi keilmuan berada di lembaga Pendidikan. Dimana terjadinya proses transfer ilmu dalam membentuk paradigma-paradigma baru. Artinya, peserta didik diberi asupan pemikiran-pemikiran sehingga akan membentuk paradigmanya dan ia dapat berpikir tentang suatu hal tersebut, berupa baik dan buruk, benar maupun salah.
Pendidikan merupakan sarana yang sangat penting untuk membangun karakter, karena pendidikan memfasilitasi seseorang untuk bisa menumbuhkembangkan jati dirinya. Proses perkembangan dan pembentukan karakter seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lingkungan (nurture) dan faktor bawaan (nature).
Secara psikologi, perilaku berkarakter merupakan perwujudan dari potensi Intelligence Quotient (IQ), Emotional Qoutient (EQ), Spiritual Quotient (SQ), dan Adverse Quotient (AQ) yang dimiliki oleh seseorang. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologi dan sosio-kultural pada akhirnya dapat dikelompokkan dalam empat kategori, yakni: (1) olah hati (spiritual and emotional development), (2) olah pikir (intellectual development), (3) olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic development), dan (4) olah rasa dan karsa (affective and creativity development). Keempat proses psiko-sosial ini secara holistik dan koheren saling terkait dan saling melengkapi dalam rangka pembentukan karakter dan perwujudan nilai-nilai luhur dalam diri seseorang.
Kecerdasan intelektual (IQ) adalah kemampuan yang dibawa sejak lahir, yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu. Kecerdasan yang bertumpu pada kemampuan berpikirnya yang berpusat pada akal (rasio) untuk membimbingnya dalam menalar dan memecahkan sebuah masalah atau menyelesaikan tugas-tugas secara cepat dan lebih efektif sebagai salah satu potensi dirinya.[1]
Kecerdasan Emosional (EQ) adalah kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.[2] Adapun Spiritual Quotient (SQ) adalah kecerdasan yang didapat melalui inspirasi, dorongan, dan efektivitas yang terinspirasi, theis-ness atau penghayatan ke-Tuhanan yang kita menjadi semua bagian di dalamnya.[3]
IQ (Intelegency Quotient) adalah kecerdasan yang didapat melalui pikiran kreatif yang berpusat di otak. EQ (Emotional Quotient) adalah intelli-gence yang diperoleh melalui kreativitas emosional yang berpusat pada jiwa. SQ (Spiritual Quotient) adalah kecerdasan yang diperoleh melalui kreativitas spiritual yang memusatkan perhatian seputar area spirit. Pemilik IQ tinggi bukanlah jaminan kesuksesan.
Sering ditemukan pemilik IQ tinggi namun gagal meraih kesuksesan; Sementara pemilik IQ biasa-biasa saja meraih sukses luar biasa karena didukung oleh EQ dan SQ. Mekanisme EQ tidak berdiri sendiri dalam memberikan kontribusi pada manusia namun intensitas dan efektivitasnya sangat dipengaruhi oleh unsur kecerdasan spiritual (SQ).[4]
Berdasarkan gambaran tersebut dapat kita simpulkan bahwa
selain memiliki IQ yang tinggi, peran Emotional Spiritual Quotient sangatlah
penting dalam membentuk karakter penerus bangsa.
[1] M. Ngalim Purwo, Psikologi Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 52.
[2] Agus Nggermanto, Quantum Quotient Kecerdasan Quantum, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2003), 98.
[3] Ibid., 117
[4] A. Zamroni, “Peningkatan ESQ (Emotional Spiritual Quotient) Siswa Sman 1 Pacitan Melalui Pembelajaran Pendidikan Agama Islam,” At-Tajdid J. Ilmu Tarb., vol. 3, no. 2, 2014.
Oleh : Sri Datuniati, M.Pd.