Karena itu, Dear all Mom in the world…
Menjadi ibu memang tidak mudah. Begitu mungkin yang banyak dirasakan tidak hanya para mama muda, mau yang beranak satu, dua maupun seterusnya. Bagaimana tidak, berbeda dengan para pria yang saat berbuat salah dianggap sebagai kenakalan lelaki. Menjadi ibu terkadang dihadapkan untuk menjdi makhluk sempurna. Tanpa celah. Tanpa salah.PERFECT.
Maka setiap pilihannya pun akan sering menjadi sorotan. Terjebak dalam dua pandangan yang pro-kontra. Memilih salah satunya dianggap wanita yang tak bisa apa-apa. Memilih keduanya pun akan menguras begitu banyak emosi dan tenaga. Tapi begitu didapati celah, dicemooh dari sisi keburukannya.
BOOM!! Dengan sedap digoreng bahkan di depan wajahnya.
Ketika seorang ibu terpaksa bekerja akan dibilang lupa keluarga. Ketika ibu di rumah saja pun dianggap lupa Ijazah dan orang tua. Kalau kerja di rumah bagaimana? Wanita akan dianggap membersamai anak tapi waktunya setengah-setengah. Jadi, tetap saja akan salah. ☹
Dari sebuah artikel di The Asian Parent pun menyebutkan sebuah survey nasional yang dilakukan oleh salah satu rumah sakit di Michigan terhadap 475 ibu yang memiliki anak berusia 5 tahun ke bawah memberikan hasil bahwa 61% dari mereka pernah mendapatkan dampak mom shaming dari pilihan membesarkan anaknya. Sedih bukan? ☹ Seorang ibu terus dipacu untuk menjadi makhluk sempurna.
Inilah kemudian yang membuat banyak dikelilingi berbagai tudingan sisi buruknya. Entah dari pandangan orang luar, maupun dari dalam diri terhadap diri sendiri. Tidak peduli kamu baru saja menjadi ibu, atau sudah lama mengarungi profesi ini. Saat terlihat ada celah, ya itu salahmu.
Mengeluh dibilang kurang iman, dianggap tidak tahan banting dengan kerasnya kehidupan. Disimpan sendiri pun terasa berat menumpuk beban bahkan berujung ingin mengakhiri cepat dengan kematian.
Beranak satu dianggap tak percaya rejeki. Beranak banyak pun dipandang tak mampu mencukupi. Berprestasi dibilang terobsesi mengalahkan suami. Tak mampu memperbaiki diri pun masih dicemooh tak mau mengerti suami. Mengajari anak di rumah dituduh tak paham pakemnya. Menyerahkan anak ke sekolah dibilang kita lepas tangan sebagai orangtua.
Seorang ibu terus dipacu untuk menjadi makhluk sempurna.
Lantas apakah seorang ibu akan merasa semakin termotivasi dengan banyaknya tudingan keburukannya ini?
NOOO…
Bayangkan ibarat kita mau maju satu langkah, baru angkat kaki sudah ada yang komentar,
“Kaki satunya dong, seharusnya!”
“Pakai sandal napa!”
“Kok cara angkat kakinya begitu?”
“Halah wes kelihatan tidak bisa itu.”
Lalu kapan jalannya kalau begini?
Lebih lanjut di artikel tadi menyebutkan bahwa rentetan Mom shaming yang terjadi dengan intens, bahkan sampai bertahun-tahun bisa mengubah struktur kimia otak sehingga membuat ibu rentan mengalami gangguan kecemasan dan depresi. Tanpa disadari bisa jadi kita salah satu pelaku saling makan hati sesama ibu di dunia ini. Masa gak sadar? Lagi lihat Wa, IG, atau Fb orang lain,
“Mbak kok gendutan ya? Emang suaminya masih betah?”
“Kok anaknya dibiarkan keleleran di lantai sih?”
“Kok dikasih sufor?”
“Makannya pakai bubur instan ya?”
Itu tangan sama mulut sebenarnya sebelas dua belas, sama-sama tidak bisa ngerem buat tidak komen pedas.
Bagi diri kita sendiri, setan tahu betul celah-celah empuk untuk melemahkan hati kita pula.
Dari celah keminderan saat melihat teman memakai blazer, sedangkan kita tercemong bumbu di rumah dengan memakai daster. Dari rasa menjadi ibu gagal ketika meninggalkan anak di rumah dengan pengasuhnya. Dari rasa menjadi ibu tega karena pernah memarahinya. Dari rasa tidak bahagia dengan pernikahannya. Tidak Bahagia dengan pencapaian anaknya. Tidak bahagia dengan dirinya. Tidak bahagia dengan hidupnya.
Seorang ibu terus dipacu untuk menjadi makhluk sempurna.
Makhluk SERBA BISA. Padahal hey, Bukankah satu raga ini tidak bisa memeluk semua dalam satu masa. Lalu apa yang kita kejar dari sebuah kata SEMPURNA? Apa yang kita kejar dari saling MENUDUHRENDAHKAN sesama ibu yang pilihan hidupnya berbeda?
Karena itu, Dear all Mom in the world…
Dirangkul itu masih lebih nyaman dibanding dicemooh tiap waktu. Diajak belajar bareng masih lebih enak dibanding ditatap sinis dengan berjuta tudingan padahal kadang kenal saja belum.
Ayo saling membangkitkan saja, bukan saling membantingkan. 😊
Oleh : Devi Eka Farah Azizah, S.Pd.